H. Abdullah Aminudin, Cepu Raya Masih di Persimpangan Pilihan

H. Abdullah Aminudin, anggota Komisi B DPRD Jawa Tengah dari Partai Kebangkitan Bangsa

Ketika harapan menggantung di langit Cepu yang panas dan penuh debu proyek, sebuah pertanyaan besar belum menemukan jawaban pasti: akan jadi apa Cepu Raya nantinya? Di tengah suara warga yang mendambakan perubahan dan kemajuan, H. Abdullah Aminudin, anggota Komisi B DPRD Jawa Tengah dari Partai Kebangkitan Bangsa, justru memilih bersikap hati-hati. Ia belum berani menyebut, apakah kawasan itu akan menjelma menjadi kota industri, pusat perdagangan, ladang perminyakan, atau bahkan tempat berkembangnya pendidikan.

Kehati-hatian Bahas Masa Depan Cepu Raya

Hari itu, Rabu (23/04/2025), suara Abdullah Aminudin terdengar dari ujung sambungan telepon. Suaranya tegas, namun terasa hati-hati. Ia bukan tidak setuju, bukan pula menolak, tetapi lebih kepada menunggu waktu yang tepat untuk bicara pasti.

Warga Cepu telah lama mendamba kawasan mereka berubah. Salah satunya adalah Zaenal, warga Kebun Kelapa. Ia mewakili banyak suara yang berharap, bahwa kelak di tanah ini akan berdiri bangunan-bangunan tinggi, pabrik-pabrik, dan kantor-kantor yang membuka banyak peluang bagi anak-anak muda.

“Kami berharap kawasan ini segera dibangun sebagai kota industri. Anak-anak muda di Cepu yang lulus sekolah atau kuliah butuh lapangan pekerjaan yang luas dan beragam,” ujar Zaenal.

Tapi harapan itu belum cukup untuk membuat wakil rakyat sekelas Kaji Amin gegabah membuat pernyataan. Ia menimbang dengan cermat, menatap jauh ke masa depan, dan berpikir dalam-dalam tentang apa jadinya Cepu jika langkah hari ini salah arah.

“Saya belum berani menyebutkan apakah Cepuraya ini akan menjadi kawasan industri, perdagangan, wisata, atau pertambangan. Bahkan bisa saja menjadi kawasan pendidikan. Semuanya masih perlu dikaji dengan serius,” ujarnya.

Baginya, pembangunan bukan semata urusan cepat atau lambat, tapi bagaimana ia bermakna. Maka ia bicara tentang perencanaan, tentang kajian, tentang kehati-hatian. Tentang jangan sampai semua terburu-buru, hingga mengabaikan ekosistem, masyarakat, dan masa depan itu sendiri.

“Jangan sampai setelah dibangun justru mangkrak, atau menimbulkan dampak sosial yang menyengsarakan masyarakat,” ia memperingatkan.

Ia mencontohkan jaringan gas di kawasan Blora Selatan. Gas yang melimpah, tapi hanya menjangkau sedikit rumah. Bukankah ini cermin dari pembangunan yang tak tuntas? Potensi yang besar tapi hasilnya belum menyentuh banyak orang.

“Contoh saja jaringan gas sampai hari ini, yang kita tahu kita mempunyai sumber gas yang sangat besar di kawasan Blora selatan, itupun yang mendapatkan fasilitas jar gas hanya baru beberapa kelompok keluarga.”

Silang Sengkarut Antara Rencana dan Fakta Lapangan

Cepu, tanah yang pernah harum oleh minyak, hari ini menjadi ruang yang menanti arah. Sudah lama ia disebut-sebut dalam rencana pembangunan. Namun dari atas kertas ke lapangan, jalannya tak selalu mulus. Politik, ekonomi, dan pertimbangan sosial membuat langkah pembangunan sering tertatih-tatih.

Di antara itu semua, suara warga makin sering terdengar, meminta kejelasan, mendesak kepastian. Namun suara seperti Kaji Amin hadir sebagai penyeimbang: bahwa membangun bukan sekadar merespons desakan, tapi memastikan bahwa masa depan yang sedang dirancang benar-benar bisa dinikmati, bukan sekadar dijanjikan.

Cepu Raya Masih Menunggu Takdirnya

Dalam percakapannya, Kaji Amin tidak menawarkan janji, tapi kewaspadaan. Ia mengajak semua pihak berpikir serius, menyusun rencana besar yang tak hanya indah di atas kertas, tapi juga berdampak nyata.

“Jangan tergesa-gesa memutuskan. Kita harus tahu potensi, tantangan, dan dampaknya, agar ke depan Cepuraya tidak menjadi proyek gagal yang membebani rakyat,” katanya menutup percakapan.

Dan mungkin, justru dari keraguan itulah lahir harapan yang lebih jujur. Bahwa Cepu Raya masih menunggu takdirnya. Bukan untuk ditentukan oleh ambisi sesaat, melainkan oleh visi bersama yang matang dan berpihak pada rakyat.